PAKIBUZ – Pusat kota Majapahit terletak di Desa Trowulan, 12 kilometer barat daya Mojokerto, Jawa Timur. Dengan pusatnya di Jawa Timur, Kerajaan Majapahit meninggalkan banyak peninggalan bersejarah di sekitar wilayah tersebut. Berikut ini beberapa situs Kerajaan Majapahit di Jawa Timur.
1. Jabung Temple
Dikutip dari laman resmi Kabupaten Paiton, Jabung merupakan sebuah candi yang terletak di desa dengan nama yang sama di Paiton Probolinggo. Mengutip situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, candi suci ini menghadap ke barat dengan tangga di sisi depannya. Candi ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu kaki, tubuh, dan atap.
Candi Jabung pada masanya dikelilingi pagar yang terbuat dari batu bata merah, namun saat ini pagar yang tersisa hanya satu sudut yaitu di sisi barat daya candi dengan menara di tengahnya.
2. Situs Trowulan
Dikutip dari laman budaya kemdikbud.go.id, situs Trowulan merupakan satu-satunya situs perkotaan pada masa klasik di Indonesia. Situs tersebut meliputi wilayah Kecamatan Trowulan dan Soko di Kabupaten Mojokerto serta Kabupaten Jombang.
Situs Trowulan merupakan bekas kota Kerajaan Majapahit yang dibangun pada tanah datar di ujung tiga pegunungan yaitu Gunung Penanggungan, Welirang dan Anjasmara.
3. Bajangratu Temple
Candi Bajangratu terletak di Dukuh Kraton, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, sebagaimana tercantum dalam situs Perpustakaan Candi. Candi ini masih menyimpan banyak misteri yang belum diketahui secara pasti, baik mengenai tahun pembuatannya, raja yang memerintahkan pembangunannya, maupun fungsinya.
Mengenai fungsi candi, diperkirakan Candi Bajangratu dibangun untuk menghormati Jayanegara. Dasarnya adalah karena adanya relief Sri Tanjung di kaki gapura yang menggambarkan kisah pemuliaan. Relief yang memuat kisah serupa juga ditemukan di situs lain, seperti di Candi Surawana.
Bagian dalam candi membentuk lorong yang memanjang dari barat ke timur. Tangga dan lantai lorong terbuat dari batu. Bagian dalam atap candi juga terbuat dari balok-balok batu yang disusun membujur dari utara ke selatan, sehingga membentuk ruang sempit di bagian atas.
4. Wringin Lawang Temple
Wringin Lawang Temple is located in a small settlement that shares the same name in Jati Pasar Village, Trowulan District, Mojokerto Regency. The temple functions as the outer gate of a building complex.
On the left and right sides of the stairs of Wringin Lawang Temple, there is a gap between the two halves of the gate as high as 2 meters. On the roof, Wringin Lawang Temple is in the form of a stacked pyramid with a square peak. There are no carvings or reliefs on the walls of the temple.
5. Tikus Temple
Cited from candi.perpusnas.go.id website page, the temple is located in a small settlement of Dinuk, Temon Village, Trowulan District, Mojokerto Regency. Tikus Temple, which was originally buried in the ground, was rediscovered in 1914. The name of the temple, which means ‘rat’, is a name used by the local community, said to be that the location of the temple was once a rat’s nest.
The purpose of the temple sparked debate among historians and archaeologists. Some argue that the temple is a bathing place (petirtaan) for the royal family, but others argue that it is a reservoir and water distribution for the people of Trowulan.
6. Kakawin Sutasoma
Not only relics of buildings, but the Majapahit Kingdom also left other relics in a form of writing. Quoted from the National Museum’s official web page, the Kakawin Sutasoma is a poem written in ancient Javanese by Mpu Tantular at the end of the 14th century during the height of the Majapahit Kingdom. The poem depicts religious tolerance that has long existed in the Majapahit Kingdom.
7. Panataran Temple
Panataran Temple is a set of ancient buildings that are in line from northwest to east. The temple is located in a village with the same name in Nglegok District, Blitar Regency. In the Negarakertagama, Penataran Temple was once called Palah Temple.
Based on the inscription on a stone located on the south side of the main building, it is said that Palah Temple was built in the early 12th century AD, on the orders of King Srengga of Kediri. However, Panataran Temple continued to experience development and improvement until, even after, the reign of King Hayam Wuruk.